Autocratic Legalism dalam Penganggaran dan Pemberian Honorarium yang Tidak Sesuai dengan Perpres 33 Tahun 2020
Nektarnews.com – Dengan diberlakukannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor
33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional (SHSR) (untuk selanjutnya
disebut ‘Perpres 33/2020’), merupakan peraturan pelaksanaan dari ketentuan
Pasal 51 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2109 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah. Perpres yang berlaku sejak 20 Februari 2020 berfungsi sebagai batas
tertinggi dalam perencanaan (Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat
Daerah atau RKA-SKPD) dan pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Lebih lanjut, di dalam Perpres 33/2020 tersebut antara lain dinyatakan bahwa
standar harga tersebut digunakan paling lambat untuk perencanaan dan
pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah tahun anggaran 2021.
Perlu kita ketahui bahwa sebelumnya berdasarkan
Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, begitu dominannya kekuasaan pengelolaan
keuangan negara yang diserahkan oleh Presiden selaku Kepala Pemerintahan kepada
gubernur/bupati/wali kota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola
keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan
daerah yang dipisahkan.
Atas dasar kewenangan tersebut, maka masing-masing Pemerintah
Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota (Pemda) menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) yang di dalamnya terdapat belanja honorarium berdasarkan penetapan suatu
standar harga satuan regional yang disusun sesuai dengan kemampuan keuangan daerahnya sepanjang pelaksanaannya tetap mengacu pada peraturan
perundang-undangan terkait pengelolaan APBD. Dalam praktiknya, setiap Pemda
memiliki ketidakseragaman analisis standar belanja yang merupakan penilaian
kewajaran atas beban kerja dan biaya yang digunakan untuk melaksanakan suatu
kegiatan sesuai dengan karakteristik di wilayahnya masing-masing.
Namun, bukan berarti pengelolaannya dilakukan sewenang-wenang oleh Pemda,
melainkan juga harus memperhatikan kerangka kebijakan hukum nasional yang sudah
ada, di antaranya kesesuaian dengan Peraturan Menteri Keuangan tentang Standar
Biaya Masukan, yang di dalamnya sudah mampu menetapkan batasan tertinggi dalam
perjalanan dinas dan honorarium secara parsial, yang juga pengaturannya terkait dengan
wilayah hukum Pemda tersebut. Oleh karena itu, adalah suatu kerangka logis
apabila Pemda juga seyogyanya tidak bertentangan dengan ketentuan batasan tertinggi
yang secara parsial sudah ditetapkan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.
Sejalan dengan tujuan agar pengelolaan keuangan daerah sebagai
bagian penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Daerah dapat dilakukan secara
tertib, taat pada ketentuan peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif,
transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan, kepatutan,
dan manfaat untuk masyarakat, maka Penulis menyarankan agar penyusunan penganggaran
honorarium dalam APBD Tahun Anggaran 2023 memperhatikan ketentuan SHRS dalam Perpres 33/2020. Hal
tersebut tertuang dalam Lampiran huruf D nomor 12 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 84 Tahun
2022 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun
Anggaran 2023 (Permendagri 84/2022).
Adapun pengecualiannya adalah: (a) besaran honorarium yang dapat dilampaui untuk narasumber/pembahas, moderator dan pembawa acara profesional sepanjang didasarkan atas bukti pengeluaran riil; dan (b) standar harga di luar dari SHRS sepanjang ditetapkan dengan peraturan kepala daerah (Perkada) yang disusun sesuai prinsip efisiensi, efektivitas, kepatuhan, dan kewajaran dengan memedomani Perpres 33/2020.
Hasil pemeriksaan BPK atas LKPD Tahun Anggaran 2021 (Tahun
2022) antara lain menyatakan bahwa tidak semua Pemda menggunakan SHSR dalam
Perpres 33/2020 sebagai dasar dalam perencanaan dan pelaksanaan APBD. Lebih
lanjut, terdapat beberapa temuan pemeriksaan yang diungkap di antaranya:
1.
Pemberian honorarium dengan
besaran melebihi batas maksimal yang diatur Perpres 33/2020
2.
Pemberian honorarium dengan jumlah
keanggotaan tim/panitia/frekuensi penerimaan yang melebihi Perpres 33/2020
3.
Pemberian honorarium kepada
pejabat fungsional/tertentu lainnya yang tidak sesuai dengan Perpres 33/2020
4.
Pemberian honorarium di luar
pengaturan Perpres 33/2020
5. Moderator berasal dari dalam satuan kerja perangkat daerah penyelenggara sementara peserta yang menjadi sasaran utama kegiatan berasal bukan dari luar satuan kerja perangkat daerah penyelenggara dan/atau masyarakat
Kondisi tersebut disebabkan oleh kurangnya pemahaman Pemda
atas kriteria pemberian honorarium tim pelaksana kegiatan dan sekretariat tim
pelaksana kegiatan yang diatur dalam Perpres No. 33/2020.
Atas kondisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa Perkada yang menjadi dasar hukum standar harga yang diterapkan
di wilayahnya masing-masing tidak sesuai dengan Perpres 33/2020 yang secara
tingkatan lebih tinggi daripada Perkada sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Namun, pembatalan kewenangan daya
ikat Perda/Perkada yang secara substansi bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi bukan kewenangan BPK melainkan melalui mekanisme Judicial Review
ke Mahkamah Agung.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana apabila Pemda di Tahun Anggaran 2022 masih terdapat temuan pemeriksaan atas penganggaran dan pemberian honorarium yang tidak sesuai dengan Perpres 30/2020. Di sisi lain, Pemda dalam menetapkan Perkada tentang Standar Harga seharusnya memperhatikan “asas kecermatan” dalam Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), yang mendukung legalitas penganggaran dan pemberian honorarium sebelum Perkada tersebut ditetapkan dan/atau dilakukan, yang salah satu kriterianya adalah Perpres 30/2020. Atas hal tersebut, tersirat kelalaian dan kesengajaan bagi Pemda untuk menganggarkan dan memberikan honorarium yang tidak sesuai ketentuan tersebut. Permasalahan tersebut dipandang berindikasi memenuhi unsur kerugian negara atau daerah sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU 1/2004), adalah kekurangan uang, surat berharga dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Inilah yang kemudian dinamakan dengan kebijakan Autocratic Legalism (legalisme otokratis) dalam penganggaran dan pemberian honorarium yang tidak sesuai dengan Perpres 30/2020.
Menurut hemat Penulis, BPK sesuai kewenangan
administratifnya dapat mengusulkan agar kondisi tersebut mengakibatkan kelebihan
pembayaran karena besaran yang dibayarkan melebihi standar yang diatur dalam
Perpres 33/2020. Dengan demikian, diperlukan upaya pemulihan kerugian negara
melalui pengembalian ke Kas Daerah. Selain itu, dapat dipertimbangkan juga pemberian
sanksi administratif berupa penundaan pembayaran TPP karena belum selesainya kerugian negara/daerah berdasarkan hasil audit dan rekomendasi BPK atau Inspektorat/APIP.
Disclaimer:
“Seluruh informasi yang disediakan
dalam Artikel adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pemberian
informasi hukum semata dan bukan merupakan pendapat instansi”.
Tidak ada komentar