[CERPEN] Mereka Telah Tiada
Pagi itu, ruangan telah ramai dipenuhi oleh anak-anak yang sibuk menulis, bercanda-gurau, bahkan mengerjakan PR yang menjadi PS, lalu keheningan pun hadir ketika Bu Tuti memasuki ruang kelas.
“Pagi, anak-anak,” ucapnya sembari membawa tumpukkan kertas putih-kosong.
“Pagi, Bu.” Jawab para siswa serentak.
“Pagi ini, Ibu ingin kalian menuliskan hal-hal yang kalian sukai dari orang tua kalian, ibu beri waktu 60 menit untuk mengisi kertas-kertas yang telah ibu bagikan,” ucap Bu Tuti sembari membagikan kertas-kertas yang dibawanya.
Tanpa berfikir panjang pada 5 menit pertama beberapa anak sudah mulai menuangkan isi pikirannya di secarik kertas yang telah dibagikan.
Namun, berbeda dengan Doni, sejak awal ia merasa gelisah dengan tugas yang Ibu Tuti berikan.
Ia bimbang dengan apa yang harus ia tuliskan karena setiap kali ia mengingat kata “Orang Tua” yang terbesit dibenaknya hanyalah ketiadaan.
Ketiadaan yang sebenarnya ada, namun hilang ditelan oleh kesibukkan, benaknya kini mulai penuh, penuh akan kenangan atau memori kehidupan akan orangtuanya.
**
“Bu, ayah di mana?” ucap Doni.
“Biasalah, nak,” kata Ibu sembari mengotak-atik gawai barunya.
“Oh, iya bu, coba lihat ini,” ucap Doni riang.
“Lihat apa?” tanya ibu, namun masih memandang gawainya.
“Doni dapat nilai ujian matematika 100 lho, bu.”
“Oh, baguslah,” tanpa melirik kepada Doni.
Mendengar ucapan ibunya itu, Doni pun pergi menuju kamarnya dengan perasaan kesal.
Keesokkan harinya…
“Bu, ayah di mana?
“Astaga, nak. Biasalah ayahmu itu masih sibuk,” ucap Ibu yang masih bermain dengan gawainya.
“Hm.., kalau begitu coba dengar ini bu,” ucap Doni riang.
“Apa?” ucap ibu sinis.
“Doni tadi di sekolah diberitahu Kepala Sekolah bahwa Doni menjadi perwakilan sekolah untuk ikut serta dalam lomba Olimpiade Matematika Tingkat Nasional di Jakarta Selatan,” ucap Doni menggebu-gebu.
“Oh, baguslah,” ucap ibu.
“Bu!?” harap Doni.
“Apa lagi?” sembari terus menatap gawainya.
“Doni diizinkan berangkat kan, Bu?” tatap Doni.
Ibunya pun terdiam, lalu melirik kepada Doni sesaat, “Tanyakan saja pada Ayahmu”.
Melihat sikap tak acuh Ibunya itu, membuat Doni kehilangan rasa senangnya karena sudah kesekian kalinya Doni melihat ibunya yang selalu bersama dengan gawai, seakan yang dilahirkannya adalah gawai bukan Doni, sama halnya dengan Ayahnya yang selalu saja tidak ada di rumah seakan Ayahnya tidak memiliki buah hati.
Doni merasa ada perasaan yang mulai memudar dalam dirinya, rasa yang seharusnya dimiliki setiap anak, yakni “cinta orang tua”.
**
“Waktu tersisa 10 menit lagi,” ucap Bu Tuti sembari memerhatikan Doni yang sejak awal melamun sendiri.
“Doni?” tegur Bu Tuti.
Doni pun terkejut melihat Bu Tuti dan beberapa temannya memerhatikan tingkah lakunya.
“Kamu belum menulis apapun, Nak?” ucap Bu Tuti lembut.
“Belum, Bu.”
“Belajarlah untuk menulis, Nak. Tuangkan apa yang ada di pikiranmu karena menulis adalah sebuah kebahagiaan.” Tangkas Bu Tuti sembari memerhatikan seluruh siswanya.
Mendengar ucapan Bu Tuti, Doni pun memerhatikan kertas kosongnya dan kembali berkelebat dengan ingatan akan orangtuanya. Hingga muncullah sekumpulan kata yang menggambarkan kedua orangtuanya, lalu ia tuliskan di secarik kertas putih-kosong.
“Baiklah, waktu sudah habis. Silakan kumpulkan kertasnya kepada Ibu karena setelah ini, kelas selanjutnya akan dimulai, jadi kalian bisa mempersiapkan diri.” Ucap Bu Tuti sembari menerima kertas yang diberikan siswanya dan bersiap-siap untuk meninggalkan kelas.
**
Ruangan berukuran 3x2 itu di dekor indah dengan lukisan dan pajangan bunga mawar. Tampak setumpukan kertas putih yang ditinggali oleh sekelompok kata, kata yang penuh akan makna dan indah jika bersama-sama.
Seusai mengajar di kelas 5A, Bu Tuti merasa penasaran dengan apa yang ditulis oleh siswanya, ia pun membaca satu persatu tulisan-tulisan tersebut.
Hingga ia pun terkejut dengan tulisan seorang anak laki-laki yang sejak awal hanya diam dan termenung akan apa yang harus dituliskannya di dalam kertas putih pemberian Bu Tuti.
“Orangtuaku ada, namun mereka telah tiada. Bukan tiada ditelan Bumi, namun tiada ditelan dunia. Dunia mereka bukan duniaku.”
Membaca tulisan Doni menyadarkan Bu Tuti bahwa selama ini Doni membutuhkan perhatian kedua orangtuanya.
Itulah kisah Doni, kisah yang seharusnya memberi kebahagian, bukan kekesalan apalagi kehampaan.
Sepatutnya sebagai orang tua sadarilah, “Anakmu tak butuh hartamu, namun ia butuh kamu”- butuh cintamu, kasihmu, senyummu dan segala keindahan yang berada di dalam hatimu.
Oleh: Muhammad Adam Al-Ayyubi
Tidak ada komentar